Buah Pikiran Para Perancang Masa Depan

Studi Literatur Mengenai Arsitektur Kontekstual

In Rofianisa Nurdin on May 19, 2012 at 11:56 am

Rofianisa Nurdin

Ketika pertama kali ditanya tentang arsitektur kontekstual, pikiran saya langsung mengacu kepada sederetan bangunan yang dibangun pada tahun yang berbeda, namun hampir sama dari segi bentuk dan fungsinya. Selain dari itu, pengetahuan saya masih abu-abu soal frase yang satu ini. Satu hal yang segera saya lakukan adalah mengecek di situs Kamus Besar Bahasa Indonesia.

ar·si·tek·tur /arsitéktur/ n 1 seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dsb; 2 metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan

kon·teks·tu·al /kontékstual/ a berhubungan dng konteks

kon·teks /kontéks/ n 1 Ling bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2 situasi yg ada hubungannya dng suatu kejadian: orang itu harus dilihat sbg manusia yg utuh dl — kehidupan pribadi dan masyarakatnya;

Sedangkan menurut Bill Raun;

Kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus mempunyai kaitan dengan lingkungan (bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan tersebut dapat dibentuk melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada dalam lingkungan (bangunan lama) ke dalam bangunan yang baru sesudahnya.

Maka, arsitektur kontekstual menurut pemahaman saya adalah sebuah metode perancangan yang mengkaitkan dan menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik lingkungan sekitar.

Gerakan pengusung paham arsitektur kontekstual sendiri muncul dari penolakan dan perlawanan terhadap arsitektur modern sebagai ikon gaya internasional yang antihistoris, monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memerhatikan kondisi bangunan lama di sekitarnya. Sehingga, kontekstualisme selalu dihubungkan dengan kegiatan konservasi dan preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai historis dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau menciptakan hubungan yang simpatik, yang akan menghasilkan sebuah kontinuitas visual.

Lalu, bagaimana penerapan kontekstualisme itu dalam sebuah bentuk desain arsitektur?

Arsitektur & penciptaan ruang dan tempat (spaces and places).

Ruang (space) pada dasarnya terbentuk dari titik yang bergerak menjadi garis, yang lalu bergerak dan membentuk sebuah bidang, dan akhirnya bertemu dengan bidang lain sehingga menghasilkan sebuah ruang tiga dimensi. Sedangkan tempat (place) merupakan ruang yang dihidupkan oleh interaksi atau kegiatan manusia.

Ruang yang baik ditentukan oleh kualitas lingkungan di sekelilingnya. Temperatur, matahari, angin, dan kelembaban sangat mempengaruhi nyaman atau tidaknya ruang tersebut, yang tentunya menjadi berpengaruh terhadap kegiatan manusia di dalamnya. Kualitas ruang yang baik akan membuat manusia betah berkegiatan, sehingga akhirnya ruang tersebut hidup dan menjadi sebuah ’tempat’ yang lebih dari layak.

Namun selain hal tersebut di atas, yang tidak kalah penting dalam menciptakan sebuah ’tempat’,—contohnya adalah ruang publik di kawasan perkotaan—adalah tiga potensi strategis yang disebut sebagai Three Theories of Urban Spatial Design; yaitu massa dan ruang (figure), jejalur atau keterhubungan (linkage), dan tempat (place). Kualitas sebuah ruang publik dipengaruhi oleh bentuk dan tatanan ruang, dan juga harus dapat dicapai dengan mudah melalui jaringan infrastruktur yang jika dirancang dengan benar akan menghasilkan ruang berkegiatan yang tak hanya nyaman, tetapi juga membentuk perilaku positif bagi manusia di dalamnya. Selain itu, konteks budaya, sejarah, dan ekologi juga perlu diperhatikan dengan menyatukan bentuk, detail, ornamen yang unik sesuai nilai sosial, budaya dan persepsi visual; sehingga menghasilkan ruang publik yang memiliki karakteristik lokal.

Maka pertanyaan pertama telah terjawab: kontekstualisme dalam terminologi arsitektur diterapkan dalam perancangan sebuah bangunan atau ruang di dalam kota, sehingga kota tersebut akan memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah city branding yang unik dan tidak dapat dimiliki kota lain.

“The most significant argument of the art of city making is that a city should not seek to be the most creative city IN the world (or region/state)—it should strive to be the best and most imaginative city FOR the world. That is why city making is an ethical foundation.”

—Charles Landry

Arsitektur dan konteks kehidupan kota, yang berisi kajian karakteristik sosial, ekonomi, dan fisik lingkungan kota dalam kaitannya dengan desain arsitektur.

Arsitektur, sebagai objek yang tidak berdiri sendiri—melainkan menjadi satu kesatuan harmonis dengan sekitarnya, menjadi satu kesatuan jaringan secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan; yang menjadi tumpuan kehidupan perkotaan saat ini. Demikian juga dengan arsitektur kota, yang merupakan jaringan, anyaman ruang dan bangunan yang bertumpuk dalam rentang waktu dan irisan berbagai kepentingan. Beberapa elemen dirubah, dibuang, diganti, ditimpa atau disandingkan dengan elemen baru dan akan terus berlanjut.

Peter Calthorpe dan William Fulton dalam buku The Regional City menjabarkan asas yang disebut sebagai Principle of Diversity, Conservation, and Human Scale; bahwa,

“These alternative principles apply equally to the social, economic, and physical dimensions of communities. For the example, the social implications of human scale may mean more police officers walking a beat rather than hovering overhead in a helicopter; the economic implications of human scale may mean economic policies that support small local business rather than major industries and corporations, and the physical implication of human scale may be realized in the form and detail of building as they relate to street.”

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa asas-asas ini dapat membentuk pondasi kawasan baru dan etika desain di lingkungankota.

Arsitektur kontekstual dan proses pencarian bentuk, berisi analisis dan eksplorasi ragam konsep desain yang menunjukkan keterkaitan antara bentuk arsitektur dan konteks lingkungan perkotaan.

Sering orang beranggapan kontekstualisme hanya berusaha meniru bangunan lama sehingga terlihat sama pada bangunan baru atau hanya untuk memopulerkan langgam historis arsitektur tertentu. Namun, sebenarnya tidaklah seperti itu.

Bila melihat definisi sebelumnya, secara umum ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kondisi bangunan lama yang bisa dilihat dari bentuk, material, dan skala bangunan. Kedua, karakter dan jiwa tempat bangunan tersebut berada yang bisa dilihat dari motif atau pola desain setempat. Dari beberapa hal tersebut dapat dijabarkan beberapa pendekatan desain arsitektur kontekstual yang bervariasi atau tidak sekadar meniru. Berikut ini terdapat beberapa contoh eksplorasi desain yang mengacu kepada arsitektur kontekstual:

Pertama, mengambil motif-motif desain setempat, seperti bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain yang digunakan.

Salah satu contoh pendekatan ini adalah rumah-rumah di Rumah-rumah tersebut merupakan bangunan baru yang mengadaptasi gaya Renaisans yang ingin menggantikan bangunan lama yang hancur saat Perang Dunia II. Kontinuitas visual terlihat dari bentuk massa dan irama bukaan atau jendela.

Kedua, menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda.

Hal ini dapat terlihat dari desain bangunan Butterfield House di Kota New York. Keterkaitan visual bangunan apartemen tersebut dengan bangunan di sekitarnya dapat dilihat dari penggunan elemen balkon, namun sudah dengan penyelesaian desain berbeda. Bangunan lama mempunyai bentuk bukaan yang datar pada balkon, sedangkan pada Butterfield House, bentuk bukaan pada balkon terlihat melengkung dan menonjol ke luar. Walaupun terdapat perbedaan desain pada balkon, kedua bangunan tetap terlihat menyatu karena memiliki bentuk dasar atau pola yang sama.

Ketiga, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati yang lama.

Contoh pendekatan ini adalah New Housing di Zwolle, Belanda. Pencarian bentuk-bentuk baru pada bangunan terlihat pada penggunaan atap gable dengan versi lebih modern.

Keempat, mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras). Dalam arsitektur kontekstual hubungan yang simpatik tidak selalu ditunjukkan dengan desain harmonis yang biasanya dicapai dengan penggunaan kembali elemen desain yang dominan yang terdapat pada bangunan lama. Hubungan simpatik tersebut bisa dicapai dengan solusi desain yang kontras. Bentuk-bentuk asli pada bangunan lama tidak digunakan langsung, namun bisa diabstraksikan ke dalam bentuk baru yang berbeda.

Contohnya, desain bangunan Woll Building, Carlton Gardens, dan St James, London. Elemen bukaan pada bangunan lama yang memiliki ukuran kecil, diabstraksikan pada bangunan baru dengan bentuk lebih besar dan transparan dengan tetap menjaga pola-pola atau ritme dari bukaan pada bangunan lama.

Tapi terlepas dari penjabaran arsitektur kontekstual dan teori-teori yang sudah berseliweran sejak lama (dan sejak lama pula hanya menjadi referensi tanpa dikaji dan dipertanyakan kembali); bagaimana ia bisa diterapkan tergantung dari bagaimana kita berargumen melalui gambar dan permainan kata, bukan?

 ***

Daftar Pustaka:

Charles Landry: The Art of City Making

Peter Calthorpe & William Fulton: TheRegionalCity

DK Ching: Bentuk, Ruang, dan Tatanan

http://my.opera.com/evolvering/blog/show.dml/733691

http://qolbimuth.wordpress.com/2008/03/05/kontekstualisme-dalam-arsitektur/

http://puspamentari.wordpress.com/2009/03/09/kontekstual-dalam-arsitektur/

http://architect-news.com/index.php/arsitektur-tradisional/68-ruang-tradisional/5-menelusuri-perwujudan-dan-kekuatan-ruang-arsitektur

http://architect-news.com/index.php/perancangan-kota/70-perancangan-wilayah/120-teori-tentang-perancangan-wilayah-kota

Leave a comment