Buah Pikiran Para Perancang Masa Depan

Mengenal Lebih Jauh Arsitektur Kolonial Bandung

In Anthony Adi Nugroho on August 27, 2011 at 7:00 am

Anthony Adi Nugroho

Kota Bandung merupakan kota terbesar ketiga yang ada di Indonesia. Kebesaran itu tidak diperoleh secara serta-merta, namun telah melalui proses yang panjang. Dimulai dari tahun 1808 setelah pemerintahan Hindia Belanda masuk menggantikan VOC yang bangkrut, Herman Willem Daendels yang menjadi gubernur jenderalnya mengubah posisi ibukota Bandung yang mulanya di Krapyak (Bandung Selatan) menjadi Bandung Kota (Bandung Tengah). Semasa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial yang melihat potensi Bandung mulai mengembangkan Bandung sebagai kota yang direncanakan secara matang. Pembangunan sarana dan prasarana pun dilakukan dengan giat. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan sederetan karya-karya arsitektur yang menjadi legenda setidaknya di Kota Bandung itu sendiri.

Dalam tulisan ini, dua bangunan kolonial yang akan menjadi sorotan utama yaitu Gedung Sate dan Gedung BI Braga Bandung. Dalam kedua bangunan ini terdapat kemiripan yakni penggunaan prinsip transformasi bentuk dalam pola perancangannya. Kedua karya arsitektur ini sama-sama membawa gaya arsitektur dari luar negeri yang dipadukan dengan prinsip arsitektur Nusantara yang pada akhirnya menciptakan arsitektur kolonial yang unik.

Menurut sejarah pembangunannya, Bank Indonesia yang semula bernama De Javasche Bank ini didirikan di Bandung untuk melindungi aset negara Hindia Belanda dari ancaman ekspansi Inggris akibat adanya perang Boer di Afrika Selatan. Keputusan untuk mendirikan cabang De Javascge Bank di Bandung dimulai dengan surat No. 165 oleh J. Reijsenbach yang merupakan presiden ke-10 De Javasche Bank. Dalam suratnya beliau meminta kepada Dewan Militer Hindia Belanda untuk membuka kantor cabang di Bandung.

Gedung Javasche Bank yang dirancang oleh Edward Cuypers, Fermont, dan Hulswit ini terdiri dari dua buah gedung. Yang pertama disebut dengan Gedung Perintis yang terletak di sisi Jalan Perintis Kemerdekaan. Sedangkan gedung kedua disebut dengan Gedung Braga yang dibangun di ruas Jalan Braga, di depan Gedung Kertamukti. Jika dilihat dari bangunannya, Gedung Perintis terlihat lebih baru, hal ini dikarenakan gedung ini sudah pernah mengalami renovasi. Gedung BI ini dibangun pada tahun 1909 dengan nama De Javasche Bank yang kemudian pada tahun 1953 diambil alih dan diresmikan sebagai Bank Indonesia. Dalam pembahasan kali ini, Gedung BI yang akan diambil sebagai objek pembahasan adalah Gedung Braga.

Sedangkan Gedung Sate pada mulanya direncanakan sebagai gedung pusat pemerintahan untuk mengakomodasi pemindahan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gedung Sate yang dibangun dengan arsitek kepala Ir. J Gerber dengan dibantu tim kerja Kol. V.L. Slors, Ir. E. H. de Roo, dan maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage. Dalam proses pembangunannya, proyek ini termasuk proyek yang terbesar pada jamannya, yang kabarnya menghabiskan dana sebesar enam juta gulden yang pada akhirnya disimbolkan dengan enam buah jambu air dalam bentuk sate yang terdapat pada ornamen menara Gedung Sate. Gedung Sate ini sendiri mulai dibangun pada tahun 1920, tepatnya 27 Juli 1920 dilakukan peletakan batu pertama oleh Nona Johanna Catherina Coops yang merupakan putri sulung dari Walikota Bandung B. Coops, dan Nona Petronella Roelofsen, yang mewakili Gubernur Jenderal Batavia.

Demikian sekilas mengenai sejarah dari Gedung Sate dan Gedung BI Bandung. Jika dilihat dari kedua fungsinya, keduanya yang sama-sama merupakan bangunan pemerintahan memiliki tugas untuk mencerminkan kemegahan Bandung dalam desain arsitekturnya. Hal ini terutama harus dapat dicerminkan dari tampilan luar bangunan. Maka untuk menjawab tugas tersebut, kedua bangunan ini sama-sama memakai prinsip transformasi bentuk, yakni keduanya sama-sama mengambil bentuk-bentuk arsitektur luar Indonesia yang oleh arsiteknya dianggap megah kemudian diterapkan pada masing-masing bangunan.

Dalam prakteknya, Ed. Cuypers sebagai perancang BI lebih banyak mengambil unsur-unsur arsitektur Romawi-Yunani yang sangat kental terlihat dengan pemakaian unsur-unsur kolom silindrisnya dengan kepala kolom yang berukir dan menggunakan pediment yang berbentuk segitiga dan berukir pada bagian tengahnya. Selain menggunakan gaya arsitektur Romawi-Yunani, Cuypers juga mengambil gaya De-Stijl yang diwujudkannya dalam penggunaan kaca patri. Kaca patri biasanya digunakan pada bangunan-bangunan yang mahal  di daerah Belanda pada jaman dahulu, oleh karena itu dengan hadirnya kaca patri di sini, diharapkan akan dapat menimbulkan kesan mewah pada bangunan BI ini.

Jika memandangi Gedung BI ini, kesan anggun dan megah yang muncul sekilas mengingatkan kita pada kemegahan kuil-kuil pemujaan dewa di Yunani. Penggunaan kolom-kolom bergaya Romawi-Yunani mencerminkan keagungan bangunan BI yang disamakan dengan bangunan kuil-kuil di Yunani dan kerajaan-kerajaan di Romawi. Kesan anggun dan kokoh pada akhirnya timbul dari kolom bergaya Romawi-Yunani ini yang terlihat kekar namun memiliki keanggunan dalam ukiran-ukiran kepala kolomnya.

Selain itu, untuk mewujudkan kesan megah, bangunan yang hanya terdiri dari satu lantai ini memiliki tinggi lebih dari 8m. Dari hal ini sangat dimungkinkan, Edward Cuypers sebagai arsitek BI ini terilhami oleh kemegahan kuil Yunani yang berukuran gigantik dibandingkan dengan ukuran penggunanya. Pada bagian fasad dari gedung BI ini dihiasi dengan pola guratan horizontal. Hal ini menjadikan gedung ini seolah-olah terdiri dari tumpukan-tumpukan batu seperti yang terdapat pada kuil Yunani.

Namun, disamping semua hal di atas Ed. Cuypers tidak lupa mengenai dimana bangunan ini dibangun. Terlihat pada bagian fasad bangunan, fasad tempat adanya jendela dimasukkan/dicoak ke dalam. Hal ini menjadi pengakalan yang pintar untuk mengatasi iklim di daerah tropis yang sering hujan. Dapat dikatakan meski sang arsitek mencoba meniru gaya-gaya arsitektur Romawi-Yunani, namun Ed. Cuypers juga memperhatikan iklim dimana bangunan ini di bangun.

Sebagai bangunan pemerintah, salah satu ciri umum yang banyak terdapat yaitu kesimetrisan dari massa bangunan. Fasad dari gedung BI ini didesain simetris, tidak hanya dalam massanya saja, namun juga simetris dalam pola bukaan jendelanya. Sebagai aksen dari pintu masuk, Cuypers memberikan arc yang tinggi menjulang, maksudnya bukaan yang diberikan bisa setinggi tujuh meter, hal ini membuat fasad yang dihasilkan terkesan seimbang. Karena jika saja bukaan yang dihasilkan hanya setinggi 3-4 meter, kemungkinan kesan yang timbul akan terasa janggal dan aneh. Untuk pintu masuk, karena kesan megah ingin ditonjolkan, maka keberadaan tangga sangat penting dan berpengaruh di sini. Jadi sebelum memasuki bangunan ini, dari pelatarannya kita harus menaiki tangga yang akhirnya disambut dengan pintu putar seperti yang menjadi tren pada berbagai bangunan megah di Eropa maupun Amerika. Namun sayangnya sekarang ini, pintu tersebut sudah tidak digunakan lagi dan hanya menggunakan pintu ayun biasa di samping pintu putar tersebut.

Berbeda dengan apa yang tampak pada bagian luar yang sangat ramai dengan berbagai ornamennya, bagian dalam dari gedung BI ini cenderung sepi, bahkan hampir dikatakan tidak ada ornamen. Yang tampak dari bagian dalam gedung BI ini adalah deretan jendela-jendela berukuran kecil dari fasade bangunan yang sudah menjadi ciri khas dari bangunan-bangunan di Negara Belanda. Namun ada desain yang berbeda dari desain bangunan-bangunan kolonial pada umumnya, yakni dengan penggunaan kaca patri yang ditempel pada tengah langit-langit interior dari bangunan ini. Hal ini menimbulkan kesan unik dan terasa tidak wajar. Namun hal tersebut lagi-lagi dimungkinkan untuk memperkuat kesan mewah dari gedung BI ini. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan ijin untuk mengambil gambar dari interior Gedung BI ini.

Berbeda dengan desain BI yang hampir seluruhnya mengambil desain Eropa, Gedung Sate sebagai salah satu mahakarya di Indonesia mengambil desain Eropa yang dipadukan dengan desain Indonesia secara serasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kesan megah sangat ingin ditampilkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam setiap desain bangunan pemerintahannya, apalagi Gedung Sate yang memang direncanakan sebagai gedung pusat pemerintahan sudah tentu harus terlihat sangat megah. Oleh karena hal tersebut, gaya arsitektur Renaisance Perancis yang megah diambil dan diaplikasikan dalam fasad Gedung Sate ini. Gaya ini diambil dalam bentuk penggunaan arc yang berulang dan pengerjaannya yang benar-benar rapi dengan ukiiran yang halus pada setiap arc.

Sedangkan desain atap sangat mencerminkan arsitektur Indonesia yang memiliki teritisan yang besar. Selain itu, seperti yang juga terdapat dalam Gedung BI, penggunaan fasad yang simetris, baik massa maupun pola fasad juga diterapkan di Gedung Sate ini dengan sumbu tengah massa Gedung Sate ini mengarah ke Gunung Tangkuban Perahu yang menjadi salah satu ikon dari Kota Bandung. Respon terhadap keberadaan Gunung Tangkuban Perahu ini merupakan salah satu hal yang patut mendapat apresiasi. Jadi Gedung Sate tidak hanya di desain secara sendiri namun juga memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Selain itu penggunaan sumbu dan kesimetrisan juga sering dipakai dalam prinsip-prinsip desain di Eropa untuk mendesain area kerajaan yang memiliki taman-taman yang luas.

Beralih ke bagian dalam bangunan dari Gedung Sate ini. Karena tadinya Gedung Sate ini di desain untuk pemerintahan Belanda di Indonesia, maka setelah memasuki hall besar terdapat lorong ke arah kiri dan kanan yang keduanya berujung di sebuah aula yang berwujud seperti ballroom dengan dihiasi lampu gantung dengan void (menghasilkan kesan luas) ke lantai dua. Kesan megah langsung terpancar dari ruangan ini karena kedua hal di atas. Desain dari ballroom yang menggunakan ukiran-ukiran seperti candi pada tiang-tiang kolom membuat hadirnya suasana etnik di ruangan ini. Pengakalan cerdik dari Berger untuk membuat kesan lokalitas di bangunan pemerintahan.

Di lantai satu ini selain terdapat aula, pada sisi kiri dan kanan aula terdapat ruang-ruang kantor. Sedangkan pada lantai dua ruang-ruang kantor hanya terdapat pada bagian sudut-sudut bangunan.

Pada lantai satu bangunan diberikan lift yang ditambahkan ke dalam Gedung Sate pada tahun 1998 untuk memudahkan para tamu pemerintah untuk menuju ke bagian menara Gedung Sate ini. Sebenarnya ini cukup mengganggu kesan ‘lawas’ yang sudah dipancarkan oleh gedung ini, namun daripada tamu harus melewati tangga yang sempit dan curam untuk menuju ruang menara, memang lebih baik menggunakan lift.

Sebelum ke menara gedung ini, kita harus melewati lantai empat yang berisi foto-foto sejarah pembangunan Gedung Sate dan hasil karya seni rakyat Jawa Barat. Dari lantai empat inilah terdapat tangga yang menuju ke arah menara. Rangka tangga tebuat dari besi, namun pada bagian balusternya digunakan kayu-kayu yang diberi motif, dari sini terpancar kuat kesan etniknya. Pada bagian menara terdapat Teras Kopi yang digunakan untuk bersantai sambil dapat menikmati pemandangan Kota Bandung.

Jika dilihat pada bagian interiornya, interior Gedung Sate lebih bermain dengan adanya berbagai tiang dan batu-batu yang diukir beserta berabagai panjangan (statue), sedangkan Gedung BI yang hanya berfungsi sebagai Bank, interiornya cenderung sepi. Hal ini bukan berarti rancangan Gedung BI tidak baik, namun memang tidak diperlukan banyaknya ornamen pada interior gedung ini. Dari kedua karya arsitektur kolonial ini, kedua-duanya merupakan karya arsitektur yang luar biasa dan menjadi peninggalan sejarah. Masing-masing meski di desain menggunakan prinsip transformasi bentuk, namun perwujudannya ke dalam desain bangunan masing-masing berbeda sesuai dengan latar belakang dan tujuan didirikannya. Gedung Sate yang memang bertujuan untuk menjadi Gedung pusat pemerintahan didesain dengan sangat megah dan menonjolkan banyak ornamen. Sedangkan Gedung BI yang hanya bertugas sebagai bank pusat tidak memerlukan banyak ornamen pada bagian dalam namun memberikan kesan megah pada bagian fasad bangunannya.

Jadi dalam penggunaan prinsip transformasi bentuk ini, penggunaan dominan dirasakan pada eksterior bangunan. Penggunaan prinsip transformasi bentuk ini cenderung berguna untuk menghadirkan suasana yang dirasakan arsitek di tempat lain di dalam karyanya, sehingga penggunaan prinsip ini cenderung menggunakan penilaian subjektif dari arsitek mengenai suasana apa yang dia rasakan cocok dan baik dan ingin diberikan dalam karyanya.

***

Sumber :

Leave a comment